“Ngabuburit” Ubah Kosan Menjadi Bioskop

Di sebuah ruang gelap 3×4 meter persegi, sekitar 10 orang mahasiswa duduk tak beraturan. Lelaki dan perempuan menyatu di bawah kelap-kelip lampu projektor. Sekilas nampak curiga, namun sesekali terdengar tawa. Di sore Ramadhan itu, mereka khusyuk menikmati tontonan film.

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunggu waktu buka puasa, atau lebih populer dengan istilah ngabuburit. Tadarus, ceramah, jalan-jalan, main game online, juga salah satunya dengan nonton bareng film. “Ramadhan merupakan bulan penuh berkah. Jangankan membaca Alqur’an, tidur pun ibadah. Karena kami komunitas kreatif yang salah satu divisinya bergerak di bidang film, maka nonton film pun bagi kami ibadah,” ungkap Aryo Sani selaku penggagas acara Bioskop Kosan.

Tidak sedikit para mahasiswa berburu acara di bulan Ramadhan, seolah semua sepakat kalau diam tidak beraktivitas rasa lapar dan haus pun semakin terasa, atau ada juga yang berlomba berburu pahala dengan memanfaatkan momentum bulan penuh berkah ini. Begitu pun dengan Komunitas Rumput yang memiliki cara lain dalam mengisi waktu di bulan Ramadhan, yaitu dengan menonton dan membedah film di ruang-ruang kosan.

“Untuk bisa menonton dan menikmati film tidak harus pergi ke gedung bioskop, dengan layar lebar dan fasilitas yang nyaman belum tentu bisa menikmati film. Tapi semangat kebersamaan dan keleluasaan dalam menonton ternyata bisa mengalahkan fasilitas mewah 21,” lanjut Aryo Sani yang juga sebagai Kordinator Divisi Film “Komunitas Rumput.” Memang cukup sederhana, hanya bermodalkan projektor hasil sewaan lalu mereka gelar layar di kos-kosan, jadilah mini bioskop.

Berbeda dengan biasanya, film-film yang mereka tonton bukanlah film-film layar lebar yang biasa muncul di bioskop, tapi film-film pendek yang luput di pasaran. Bagi mereka film pendek tidak hanya sebagai media pembelajaran dalam membuat film, tapi bisa menjadi tontonan alternatif yang masih memegang semangat idealisme, seperti yang diungkapkan Nezar Pamungkas salah satu sutradara film pendek “Pahlawan Tanpa Kutip” yang hadir pada waktu itu. “Di sini kami bisa menentukan film apa yang ingin kami tonton, dan kami memilih film pendek sebagai tontonan alternatif dari film-film layar lebar yang biasa muncul di bioskop,” jelasnya.

Tak hanya itu, Aryo Sani pun menambahkan,  “Film pendek memiliki karakteristik tertentu yang tidak dimiliki film-film lain, dan ini berpotensi untuk terus dikembangkan.”  Memang kebanyakan orang memahami film pendek sebagai film produksi minim biaya dan sekadar dijadikan batu loncatan ke film layar lebar.

Namun pendapat sineas-sineas tadi memberikan pemikiran lain, bahwa film pendek bukan lagi produksinya sineas amatiran, tetapi berpotensi menjadi film yang berdiri sendiri dengan kekhasan tersendiri. Namun yang disayangkan perhatian pemerintah untuk membantu memfasilitasi ruang pemutaran film pendek belum bisa diharapkan, sehingga film-film pendek karya kreativitas anak bangsa pun masih berakhir di bioskop-bioskop kosan yang terbatas diakses publik.

Lampu ruangan dinyalakan, diskusi pun digelar. Beberapa orang menlontarkan pendapatnya, saling kritik, saling bantah, namun setelah itu mereka tertawa kembali. Di dalam ruang sempit itu muncul pemikiran-pemikiran besar, tanpa mufakat seolah mereka sepakat untuk memajukan perfilman Indonesia.* [IRVAN NUGRAHA]

Sumber: Bandung-News

Tinggalkan komentar

Filed under Berita, Ekonomi, Feature

Tinggalkan komentar